Kamis, 08 Oktober 2009

Bisnis Pendidikan, Etiskah?

SECARA teoretis tidak bisa disangkal bahwa biaya pendidikan
atau penyelengaraan pendidikan sangatlah tinggi. Asumsi ini
paling tidak hidup di benak kalangan profesional dan para ahli
pendidikan. Semakin tinggi biaya pendidikan, semakin tinggi
kualitas pendidikan.

Sepertinya asumsi ini perlu dipertanyakan ulang. Mungkin benar
bahwa semakin tinggi biaya pendidikan semakin tinggi pula
kualitas pendidikan, akan tetapi sulit dan mahalkah pendirian
lembaga pendidikan? Pertanyaan itu pernah terlontar dalam
sebuah obrolan sambil lalu yang tiba-tiba menjadi sangat
serius. Seorang teman jebolan perguruan tinggi luar negeri
menceritakan mahal dan rumitnya penyelenggaraan lembaga
pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tinggi. Yang lain
mengungkap sejumlah sarat, prasarat, serta sarana yang mesti
disediakan, secara teoretis tentunya. Pokoknya penyelenggaraan
pendidikan tinggi bukan sesuatu yang bisa dilakukan sambil
lalu.

Di tengan pembicaraan yang serius tersebut, tiba-tiba salah
seorang teman tertawa terbahak-bahak. Ia bilang bahwa
mendirikan lembaga pendidikan itu murah dan mudah. Cukup
mempunyai yayasan dan beberapa lokal kelas. Bahkah, bila
membangun lokal kelas masih dianggap terlalu mahal dan tidak
ada dananya, bisa nebeng (ngontrak, sewa) lokal kelas dari
sekolah yang ada. Kurikulum dan tetek bengek konsep sistem
pendidikan yang akan didirikan tinggal menjiplak dari lembaga
pendidikan yang telah berdiri. Praktis, mudah dan murah! Tidak
perlu survei atau studi kelayakan segala macam. Mendirikan TK,
sekolah dasar, sekolah menengah maupun perguruan tinggi, sama
saja. Perbedaannya tidak seberapa! Urusan kualitas? Siapa yang
peduli dengan kualitas, toh orang hanya peduli dengan ijazah!
Dari pada ijazah palsu, mendingan ijazah yang asli kalau pun
dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang bangunannya ngontrak!
Betulkah sedemikian murahnya mendirikan lembaga pendidikan?
Ketika itu obrolan menjadi simpang-siur antara persolan
penyelenggaraan lembaga pendidikan dengan bisnis pendidikan.
Selama ini, wacana tentang bisnis pendidikan selalu dianggap
tabu. Bahkan, tidak lama berselang, demo antibisnis
pendidikan, bersamaan dengan itu media massa menyorot tajam
persoalan tersebut yang didasarkan pada sejumlah indikasi.
Yaitu tingginya biaya pendidikan yang disebabkan pengurangan
subsidi pendidikan sebagai konsekuensi dari realisasi otonomi
pendidikan.

Kini, dengan diterapkannya kebijakan otonomi pendidikan, yang
semakin diperkecil dan akhirnya ditiadakannya dana (subsidi)
pendidikan, secara konsekuensional bisnis pendidikan menjadi
isu yang mengemuka dengan sendirinya. Dengan kata lain,
pergeseran lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial
non-profit (nirlaba) menjadi lembaga yang mau tidak mau harus
mempertimbangkan kemungkinan profit yang lebih besar. Bila
tidak, ia akan mati dengan sendirinya, karena tidak bisa
membiayai aktivitas pendidikannya. Persoalan ini, pada
akhirnya bukan hanya berlaku bagi lembaga pendidikan swasta
akan tetapi juga lembaga pendidikan negeri. Atau lebih
tepatnya tidak ada lagi lemabaga pendiidkan (sekolah) negeri
atau pun swasta.

Bisnis pendidikan, persoalan itu yang kemudian mencuat ke
permukaan. Etiskah bicara dan menyelenggarakan bisnis
pendidikan dalam keterpurukan bangsa ini. Atau lebih
substansial lagi, etiskah bicara dan menyelenggarakan bisnis
pendidikan? Atau, apakah aktivitas penyelenggaraan pendidikan
layak dianggap sebagai barang jasa yang memiliki nilai ekonomi
tinggi?

Bila pendirian lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh
yayasan pendidikan dengan tanpa memiliki lembaga usaha yang
menopang pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tersebut, atau
bahkan lembaga pendidikan itu sendirilah yang menjadi penopang
dana yayasan tersebut, mana bisa kita menyebut bahwa dasar
pendirian lembaga pendidikan bahkan pendirian yayasan tersebut
sama sekali bersifat nirlaba, bukan bisnis.
Dengan kata lain, lembaga pendidikan tersebut bukan didirikan
dan diselenggarakan sebagai dimensi sosial dari suatu
perusahaan besar, melainkan lembaga pendidikan itu merupakan
perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain, pendirian lembaga
pendidikan benar-benar didasarkan pada orientasi bisnis. Lebih
tegas lagi, boleh disebutkan bahwa ada kemungkinan pendirian
yayasan pendidikan tidak lebih sekadar kedok untuk mendirikan
bisnis pendidikan. Kedok etik dan menghindari besarnya pajak
yang harus dikeluarkan.

Ratusan ribu lebih lembaga pendidikan di Indonesia, dari mulai
tingkat dasar hingga perguruan tinggi, namun berapa persenkah
(bila ada) dari lembaga pendidikan itu didirikan sebagai
"kerja" yayasan yang ditopang oleh perusahan besar? Katakan
seperti funding (yayasan) yang didirikan oleh perusahaan
raksasa. Maka wajar kalau pun ada, yayasan pendidikan yang
benar-benar murni nirlaba, karena ia tidak memiliki sumber
dana yang memadai, lembaga tersebut dengan terpaksa berjalan
tertatih-tatih hidup dengan dana yang sangat minim dari SPP,
atau sumbangan lain yang tidak tentu dan tidak seberapa.
Yayasan pendidikan seperti ini terlahir dari keprihatinan
komunitas kecil yang didorong karena tidak ada atau minimnya
sekolah di daerahnya. Atau, keprihatinan terhadap sistem
pendidikan nasional yang tergambar dari kurikulumnya, yang
meraka anggap terlalu barat dan tidak memanusiakan. Yayasan
seperti ini biasanya didirkan oleh komunitas majelis taklim
atau pesantren yang berada daerah, atau kota-kota kecil. Bukan
bisnis.

Dengan demikian, kesadaran nilai penting dan vitalnya
institusi dan sarana pendidikan bukan hanya sekadar disadari
oleh masyarakat Indonesia, bahkan mereka ikut serta secara
aktif menyelenggarakan lembaga pendidikan, yang kadang tanpa
mempertimbangkan kelayakan dan standar "formal" pendidikan
yang didirikannya. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena
pendirian lembaga pendidikan yang mereka lakukan lebih
didasarkan pada kesadaran moral belaka, bukan didasarkan pada
profesonalisme.

Bila menjamurnya penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan
pada orientasi bisnis, apalagi kecenderungan tersebut
diperkuat oleh adanya gerakan otonomi lembaga pendidikan di
mana setiap lembaga pendidikan (termasuk lembaga pendidikan
negeri) dituntut untuk menghidupi dan membiayai diri sendiri,
maka bisnis di sektor pendidikan bukan lagi merupakan sesuatu
yang mesti dianggap tabu dan tidak etis.

Persoalannya bagaimana kode etik dan prinsip-prinsip bisnis di
sektor pendidikan ini dirumuskan, sehingga tidak mengabaikan
kualitas pendidikan. Bahkan, bagaimana logika bisnis sektor
pendidikan ini dirumuskan di atas prinsip, penyelenggaraan
pendidikan dengan biaya serendah-rendahnya dengan kualitas
setinggi-tingginya, dan bukan sebaliknya.
Secara umum pengelola lembaga pendidikan, khususnya lembaga
pendidikan negeri yang tidak memiliki pengalaman mencari,
mengolah dan mengelola dana secara mandiri, benar-benar
kelimpungan. Di satu sisi mereka membutuhkan biaya yang tidak
sedikit untuk bisa survive, di sisi lain mereka berhadapan
dengan beban etik dan fakta bahwa mereka sama sekali tidak
memiliki pengalaman bisnis dan memasarkan lembaga
pendidikannya.

Fenomena bisnis di sektor pendidikan pada akhirnya harus
dilihat sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan yang
positif, baik dari sisi praktis maupun sisi pengembangan
khasanah teori-teori dan bidang ilmu pendidikan. Pada sisi
praktis, bisnis ini memungkinkan lahirnya lapangan kerja yang
profesional, baik pada bidang manajemen pendidikan, ekonomi
pendidikan, pemasaran dan advertising dan lain sebagainya,
serta akan meningkatkan kemampuan lembaga pendidikan tersebut
untuk survive.

Dan secara akademik lahirnya cabang ilmu pengatahuan yang
baru, yang berkenaan dengan kepentingan praktis tersebut
menjadi mutlak adanya. Dan untuk itu, diperlukan suatu kajian
yang spesifik dalam bidang tersebut, dan bukan mustahil untuk
didirikannya progran studi yang relevan. Dengan adanya
komunitas profesional dalam bidang tersebut, maka lahirnya
kecenderungan dan tuntutan bisnis atau wirausaha dalam sektor
pendidikan sedikit banyaknya bisa dipertanggungjawabkan secara
akademis dan profesional.

Dengan demikian perguruan tinggi dan fakultas pendidikan
memungkinkan untuk melebarkan sayapnya ke wilayah yang lebih
luas. Bukan hanya berkisar pada persoalan proses, sarana dan
metode pendidikan serta persoalan konvensional lainya, akan
tetapi juga bisa berbicara pada wilayah yang lebih luas dan
menjanjikan. Studi di fakultas atau perguruan tinggi bidang
pendidikan bukan hanya sebatas untuk menjadi guru atau ahli
dalam bidang pendidikan (dalam pengertian konvensional), akan
tetapi juga menjadi ahli ekonomi, bisnis dan manajemen
pendidikan yang memiliki peluang dan keahlian untuk membangun
suatu industri pendidikan yang memiliki peluang ekonomi yang
lebih menjanjikan.

Civitas akademika sebuah lembaga pendidikan yang selama ini
sering dipandang sebagai insan pengabdi (komunitas dan
masyarakat Umar Bakri) yang dianggap berseberangan dengan
kepentingan-kepentingan untuk meningkatkan taraf ekonomi yang
layak, bukan mustahil mampu menyejajarkan dengan komunitas
wirausahawan (pelaku bisnis). Dengan meningkatnya taraf hidup
mereka, "barangkali" bisa diharapkan pengabdian dan
profesionalisme Umar Bakri ini meningkat karena mereka bisa
lebih concern dengan profesinya, tidak perlu mencari tambahan
dari kiri dan kanan. Insya Allah.***

Penulis dosen filsafat di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar | Feed

Posting Komentar



 

TEMPLATES AND HACKS

lai Copyright © 2009 REDHAT Dashboard Designed by SAER